Sabtu, 07 November 2009

INSPIRASI BERKONTRIBUSI



Saat itu ia memiliki sahabat karib dengan tempat tinggal yang bersebelahan. Yang sangat unik adalah ia beserta sohibnya sudah terbiasa sholat berjamaah di masjid pada usia masih terbilang sangat belia (5 tahun). Mereka sangat akrab, umurnya selisih satu tahun. Sebut saja Shofwan dan Ahyar. Ahyar lebih tua satu tahun, ia adalah sahabat karib Shofwan. Aktivitas rutin mereka selama di bangku SD yang sangat dominan adalah kegemaran sholat berjamaah di masjid dan bermain sepakbola hanya berdua. Secara kebetulan kedua rumah mereka diapit oleh jalan kecil yang terlihat seperti sebuah hamparan lapangan mini. Sebenarnya mereka tidak bermaksud mengucilkan diri, selain lapangan yang tersedia cukup kecil, anak-anak seusia mereka ternyata cukup langka. Sehingga, pikir mereka daripada pusing memikirkan jumlah umumnya permainan sepakbola ‘mending’ main aja, yang penting main bola. Karena jumlahnya dua orang, maka tipe permainan mereka adalah tos-tosan (adu penalty, tendangan bebas, free play dengan aturan mainnya setiap kali kebobolan akan berganti posisi kiper plus perhitungan skor).


Subhanallah, Allah mentarbiyah mereka dengan keseimbangan aktivitas. Aktivitas rutin sholat berjamaah di masjid merepresentasikan teritori rohani, sementara bermain sepakbola secara rutin merepresentasikan ranah jasmani. Tak berlebihan jika dikatakan Allah memberikan perlakuan khusus pada mereka berdua (baca: tarbiyah) karena ada alasan lainnya yakni umumnya anak-anak seusia mereka terbiasa menggunakan celana pendek, keseharian mereka (kecuali pada saat sekolah) menggunakan celana panjang bahkan ketika bermain bola pun demikian. Bagi mereka –khususnya Shofwan– menggunakan celana pendek ketika bermain membuatnya risih, tidak nyaman, tidak ‘Pede’ sekaligus malu. Sekali lagi mari sama – sama kita perhatikan ada fitrah orisinil di sana. Perhatian khusus mereka terhadap aurat.


Satu kisah menarik lainnya adalah saat tren ‘menjodohkan’ dan pacar-pacaran sesama teman kelas/sekolah muncul. Saking gelisahnya Shofwan terhadap kondisi tersebut, secara spontan ia mengadu ke umminya (panggilan sayang Shofwan pada ibunya), katanya : “pokoknya Shofwan pengen punya istri yang berjilbab.” Dalam hati umminya berpikir, “dapet pikiran dari mana nih anak.” Tidak ada hujan, tidak ada petir, tidak ada sebab lainnya secara tiba – tiba Shofwan berkata demikian. Memang pada saat itu sangatlah mengherankan jika ada seorang anak yang berpikiran jauh ke depan, apalagi perkara rumah tangga, perkara pasangan hidup.


RESPON :
Kita tidak membahas lebih dalam, tapi setidaknya ada hal yang tersirat terkait perkataan Shofwan. Yakni, urgensi aurat yang sudah tertanam dan fikrah Islamiyah yang menyeluruh. Sepertinya ada kecenderungan yang signifikan terhadap gaya pikir seorang Shofwan. Pada kasus ini seolah – olah pikirannya senantiasa dibenturkan pada kaidah/aspek yang syar’i tiap kali menghadapi persoalan. Lihat saja, perkara sebelumnya tentang kebiasaan menggunakan celana panjang sejak dini, kini seputar kaidah interaksi lawan jenis. Jelas sekali, ada ketidak setujuan Shofwan tentang hubungan antara lawan jenis, cinta dan sebagainya. Ia sangat risih dengan pola ‘pacaran’ yang menurutnya bukan yang Islam ajarkan. Ia langsung membawa perkara ini pada ranah akhir yang syar’i yaitu pernikahan. Ketidak setujuan Shofwan dengan cara anak-anak seusianya menterjemahkan rasa suka ke lawan jenis dijawab langsung dengan pemilihannya untuk masuk zona yang dihalalkan (nikah) plus kriteria pasangan hidup secara tampilan zhahir (berjilbab).



Kembali ke topik diskusi Shofwan dan Umminya. Sebelum Umminya mencari tahu alasan Shofwan tersebut, tiba-tiba dari belakang rumah ada suara anak-anak (disinyalir teman-teman mainnya Shofwan) yang mengelu-elukan (bahasa ledekan anak-anak) Shofwan dengan seseorang. Tanpa pikir panjang, sesuai dengan yang diinginkan Shofwan, maka Umminya menyahut dengan mengatakan : “Shofwan sukanya sama perempuan yang berjilbab.” Lantas Shofwan terkejut luar biasa, ternyata respon umminya seolah-olah mendukung gaya berpikirnya. Kemudian, diam-diam Umminya Shofwan ingin mencari tahu alasan anaknya berkata demikian. Dia bertanya kepada anaknya seputar pikiran yang mendasari perkataan anaknya tersebut. Sebagaimana anak-anak, Shofwan menjawab dengan lugu, “Ngga’ tahu Mi, keluar begitu aja” katanya. Sebab, sebenarnya Shofwan juga sama seperti teman-temannya, manusiawi, ia juga suka dengan salah seorang temannya. Namun setiap kali ada kesempatan untuk lebih dekat berinteraksi ada saja yang menghalanginya, khususnya dilema dengan hati kecilnya.


Pada kasus yang lain, ketika ada kebiasaan di kelasnya bahwa setiap kali jam sekolah berakhir maka anak-anak diperbolehkan pulang jika bisa menjawab pertanyaan guru. Hari itu, tidak biasanya pak guru mengeluarkan sebuah pertanyaan seputar kondisi dunia terkini. Pak guru menanyakan tentang tokoh Israel yang tewas akibat rangkaian konflik timur tengah. Dan satu-satunya yang bisa menjawab adalah Shofwan. Ia menjawab secara lantang. Memang walaupun bukan hobinya mengikuti berita terbaru dunia, tetapi ia cukup mengikuti perkembangan konflik Palestina dengan Israel. Ada kecenderungan dalam hatinya untuk mengetahui lebih tentang kondisi timur tengah secara umum, yang menurut pandangannya mengapa menjadi bahan pemberitaan sampai di Indonesia ? Apa sih hubungannya ? Pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya ini yang untuk kemudian melatarbelakangi keinginannya untuk mencari tahu lebih dalam tentang perkembangan timur tengah.
Shofwan sangat mengagumi sohibnya, salah satu bentuk kekagumannya adalah ia juga berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke salah satu sekolah lanjutan tingkat pertama negeri di Jakarta yang merupakan sekolah tempat sohibnya. Ia mengutarakan beberapa peristiwa yang tidak bisa dilupakannya. Peristiwa pertama seputar interaksi lawan jenis, ia mengatakan ada saja di setiap tingkatan kelas menemukan perempuan yang disukainya tapi lagi-lagi semakin bertambah usianya semakin banyak resistansi dalam hati kecilnya. Ia belum bisa menjawab secara teoritis mengapa hal tersebut terjadi dalam hatinya, dan ia pun berkeyakinan akan korelasinya dengan ajaran Islam. Tapi ia belum menemukan jawaban yang jelas, yang membuatnya puas. Peristiwa kedua seputar keselamatan jiwa dan raga. Sekolahnya berada cukup jauh dengan lokasi rumah Shofwan. Sehingga ia harus menggunakan angkutan umum, di mana angkutan ini mengangkut berbagai latar belakang sekolah baik dari jenis tingkatan maupun jenis status negeri-swasta. Pada saat yang sama angkutan ini pun rutin melewati daerah yang kerap kali terjadi tawuran. Sudah terbayang apa yang terjadi ??? Menurut penuturannya, 3 tahun ia sekolah dengan perasaan was-was. Hampir tiap minggu bahkan hari ada saja kejadian yang cukup membahayakan dirinya. Kejadiannya cukup banyak, intinya ia bersyukur diselamatkan Allah swt. Satu kisah yang menurutnya tidak terlupakan adalah saat oknum sekolahnya memiliki masalah dengan oknum sekolah lain. Jegat menjegat sudah menjadi tren saat itu. Kejadiannya saat Shofwan bersama beberapa temannya turun dari angkutan, dari jarak sekitar 50 meter berkumpul gerombolan oknum sekolah lain yang notabene ‘rival’ sekolahnya. Karena identik dengan seragamnya, beberapa oknum ‘rival’ sekolahnya mengejar rombongan sekolah Shafwan yang terbilang sedikit, 5 orang (termasuk Shofwan). Pada kondisi yang cukup panik, seraya berdoa Shofwan berusaha bersikap biasa, ia jalan menghampiri rombongan ‘rival’ sekolahnya tersebut (karena jalan tersebut adalah arah jalan pulangnya). Sementara di saat yang sama, keempat temannya lari ke arah lain berusaha mengejar angkutan yang mulai jalan untuk menghindari kejaran rombongan ‘rival’ sekolahnya. Entah kenapa, sesaat, Shofwan melihat mata sebagian besar rombongan ‘rival’ sekolahnya seolah-olah tertuju pada satu pandangan dan tidak melihat ke arah Shofwan barang sedetik pun. Ia bersyukur luar biasa, walaupun sempat trauma. Karena ia mengetahui bahwa rombongan ‘rival’ sekolahnya tersebut familiar untuk tak kenal kompromi, asal ada siswa yang berseragam ‘musuh’ dari ‘rival’ sekolahnya tersebut pasti dikerjai.


Saat Shofwan kelas 3, bisa dikatakan puncak prestasinya. Untuk kali pertama ia memperoleh peringkat satu setelah sebelumnya (baik di kelas 1 & 2 SLTP maupun karir pendidikannya di SD) hanya bisa meraih peringkat kedua. Wajar jika, wali kelas berharap lebih. Shofwan diproyeksikan untuk melanjutkan ke SMA terfavorit dan unggulan di Jakarta. Salah satu bentuk persiapannya ialah ia sempat direkomendasikan wali kelasnya untuk mewakili sekolah dalam olimpiade Matematika. Pada waktu yang sama, sohibnya (Ahyar) sudah diterima pada salah satu SMA negeri di Jakarta. Ia memperhatikan, ternyata SMA negeri ini berada jauh di bawah SMA negeri yang diproyeksikan wali kelasnya. Salah satu kelebihan SMA negeri tempat sohibnya adalah SMA tersebut dikenal warga sekitar dengan sebutan “Pesantren.” Bagi Shofwan sangatlah unik. Pertama, apa yang yang menyebabkan warga sekitar SMA tersebut memberikan predikat “Pesantren” dan kedua yang lebih ironi lagi ternyata SMA itu tidak berada jauh dari tempat tinggalnya, sementara ia tidak tahu banyak berita tentang SMA tersebut. Shofwan mulai merangkai masa depannya secara perlahan, ia harus memastikan langkah berikutnya ke depan. Apakah mengikuti rekomendasi & proyeksi wali kelasnya. Ia mulai menganalisis, menghitung-hitung, mempertimbangkan dan melakukan konsultasi. Karena, pikirnya sangatlah naïf jika tidak menginginkan masuk sekolah favorit dan unggulan. Seiring dengan waktu yang berjalan ia telah mendapat jawaban akan alasan warga sekitar SMA tempat sohibnya sekolah diberi predikat “Pesantren.” Istilah pesantren dinobatkan warga secara spontan, mengalir begitu saja dengan alasan aktivitasnya cukup Islami, siswa-siswinya yang bermoral, tidak memiliki masalah dengan sekolah lain, banyak siswi berjilbab, dan kegiatan Rohani Islam (Rohis)nya yang memasyarakat sementara pada saat yang sama bi’ah (lingkungan) sekitar sekolah secara teoritis tidak terlalu mendukung/mempengaruhi. Jadi, bisa diibaratkan seolah-olah oleh warga diilustrasikan sebagai cahaya di kegelapan. Dengan alasan yang begitu nyata dan logis, diam-diam Shofwan mulai tertarik, namun ia harus tetap mengkalkulasi. Singkat cerita Shofwan memilih jalan masa depan sekolah selanjutnya ialah dengan dua persyaratan, pertama sekolah yang di dalamnya mendukung potensi akademik dan religi (dunia & akhirat). Dipilihlah sekolah tempat sohibnya lebih dahulu masuk. Kali ini, pilihannya bukan semata-mata karena mengikuti sohibnya. Shofwan sudah mulai dewasa dalam berpikir. Alasan mengikuti dan bergabung dengan teman-teman yang baik bukanlah alasan yang salah, tetapi ini bukanlah satu-satunya alasan.


RESPON:
Hadis riwayat Abu Musa ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya perumpamaan berkawan dengan orang saleh dan berkawan dengan orang jahat adalah seperti seorang penjual minyak wangi (misk) dan seorang peniup dapur tukang besi. Penjual minyak wangi, dia mungkin akan memberikan kamu atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapatkan aroma harum darinya. Tetapi peniup dapur tukang besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu atau kamu akan mencium bau yang tidak sedap. (Shahih Muslim No.4762)
Sebelum melanjutkan kisah Shofwan, ada sedikit hikmah dari sebuah kisah nyata tentang urgensi memilih teman yang baik. Ini adalah kisah seorang supir Einstein, Einstein dikenal dengan teori relativitasnya. Pada masanya, teori ini cukup menggemparkan karena sangat mempengaruhi masa depan dunia sains khususnya fisika. Sehingga Einstein sering diundang untuk debat dengan para ahli sains. Ia juga tidak jarang diundang hanya sekedar mempresentasikan teorinya ke berbagai negara. Aktivitas ini berlangsung bertahun-tahun dan pada saat yang sama juga bertahun-tahun ia didampingi oleh supirnya. Pada suatu waktu Einstein memiliki jadwal presentasi di sebuah daerah sementara kondisi kesehatannya sedang menurun bahkan berdiri saja sulit. Sesaat sebelum keberangkatan, Einstein menginstruksikan supirnya untuk meng’cancel’ agenda. Namun secara sigap supirnya tersebut tidak setuju dengan instruksi majikannya. Lantas Einstein meminta alasan supir tersebut sekaligus meminta pertanggungjawaban solusinya. Supir tersebut mengemukakan ide yang mengagetkan Einstein, “Begini pak, bagaimana kalo yang mempresentasikan saya saja?” ucapnya. “Memang kamu bisa?” Tanya balik Einstein. Lantas supir tersebut menjawab, “Lha, bertahun-tahun saya ikut dan mendampingi bapak, sementara yang bapak jelaskan ya itu-itu aja (teori relativitas).” Akhirnya Einstein setuju. “Lalu bagaimana teknisnya?”, Tanya Einstein mematangkan rencana. “Ok pak, nanti pada saat perjalanan hampir mendekati lokasi, kita tukar posisi. Bapak menyupiri saya, dan saya disupiri oleh bapak. Kan mereka belum pernah melihat sosok Einstein? Tentu tidak masalah bukan?” pungkasnya (pada era tersebut televisi belum berkembang dan belum ada media sosialisasi secanggih zaman sekarang). “Baik, saya setuju”, respon Einstein. Dan, seketika tibalah waktu mereka bertukar posisi. Ketika sampai dilokasi, supir Einstein disambut dengan sangat meriah, diangkat sampai podium. Mereka (para audiens) mengira bahwa dialah seorang Einstein pakar Fisika Modern, penemu Teori Relativitas. Ternyata, supir Einstein tersebut berhasil mempresentasikan dengan baik, jelas dan lancer termasuk beberapa pertanyaan yang dilontarkan. Sampai pada satu pertanyaan, yang nampaknya selama ini belum ia dengar. Ia mulai sedikit panik dan grogi, namun ia tidak kehilangan akal dan berhasil mengkondisikan dirinya. Jawabannya diplomatis, “bagi saya, pertanyaan ini terlalu sederhana. Untuk itu biarlah supir saya di sana (belakang) menjawabnya.” Supir tersebut tidak lain adalah Einstein yang asli. Hikmah ini adalah bukan pada bagian akhir kisah yang notabene menghindari pertanyaan dengan elegan dan seolah-olah memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Hikmah yang dimaksud adalah pengaruh seorang teman, kolega, kelompok yang intens dengan kita. Kita perhatikan, bagaimana status sosial sebagai supir mampu memiliki pemahaman yang tidak berbeda dengan seorang Einstein. Adapun tingkah diplomatisnya sang supir menjawab pertanyaan terakhir asasinya mutualisme, ia tidak malu dan memalukan nama seorang Einstein. Pertanyaan yang baru, dianggapnya terlalu sederhana dan ia limpahkan kepada supir ‘palsu’nya. Hal ini menggambarkan bagaimana seolah-olah kapasitas keilmuan seorang Einstein. Wa Allahu a’lam.





BERSAMBUNG ......
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

Tidak ada komentar: