Kamis, 23 Februari 2012

HIKMAH MALAM..... DI PINGGIRAN JALAN


Malam itu Izam lebih awal pulang dari aktivitas rutin harian, kira-kira pukul 22.30 wib ia meluncur menggunakan sepeda motor kesayangannya. Namun, belum lama meluncur ia merasa ada yang aneh pada tunggangannya itu. Ya...., ternyata ban belakang motornya bocor. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menuntun kendaraannya ke arah jalan raya yang sepengetahuannya ada tukang tambal ban di sana. Memang, jarak antara awal ia menuntun motor dengan tempat tambal ban terbilang tidaklah dekat. Hmmm..... sebagaimana orang-orang pada umumnya yang tertimpa “bencana” bocor ban, Izam sempat berpikir macam-macam. “Ada apa ya?”, “Maksiat apa saya hari ini?” atau “Begitu besarkah kesalahan saya hari ini?” dan lain-lain. Kalimat-kalimat itulah yang silih berganti mengiringi perjalanannya ke tempat tambal ban, sebelum pada akhirnya ia ‘berhasil’ mengelola gaya berpikirnya yang ‘memaksa’ berakhiran serba positif kemudian. Ia tidak mau terbebani secara berlebih pada kalimat-kalimat instrospeksi tadi, ia kemudian membangun sikap sekaligus harap. Ia bersikap, segera memperbaiki segala bentuk kesalahan atas apa yang ia rasakan saat itu seraya berharap bahwa malam ini ia memperoleh karunia hikmah yang begitu jelas nantinya.

Terjawablah harapan itu persis di tempat tambal ban dan berikut adalah kronologisnya. Awalnya ia memarkir motor dalam keadaan siap untuk diperbaiki, kemudian ia melihat sosok tubuh yang begitu besar dengan mimik wajah yang cukup memperlihatkan ekspresi tegas. “Ini orang cukup serem, kayaknya galak & sulit diajak bercakap”, imbuhnya dalam hati. Namun semuanya salah ketika tukang tambal ban ini menyapanya lebih dahulu, “Maaf, ini helmnya takut jatuh”, seraya menunjuk helm yang masih tergeletak di jok motornya sambil memperlihatkan wajahnya yang begitu bersahabat. Dan, melihat wajah yang begitu terlihat berbeda dengan apa yang Izam lihat ketika awal bersua, maka Izam pun merespon balik dengan lebih ceria, “Iya pak, makasih” sambil mengambil helmnya dan meletakkan pada tempat ia duduk. Mungkin, karena sama-sama merasa adanya “atmosfer” persahabatan maka kemudian kami cenderung lebih cair dan tidak kaku. Inilah yang kemudian menjadi titik awal hikmah yang Izam dapatkan malam itu......

Percakapan kami yang begitu cair bermula ketika tukang tambal ban itu berkomentar tentang telepon seluler yang ia simpan dalam saku celananya....
Tukang tambal ban :              
HP ini kadang-kadang ngga’ kerasa cepet rusak, nunduk sedikit (posisi hp tertekan tubuh) eehhh... begitu dilihat lcdnya baret.
Izam :  
- (hanya terdiam, mendengarkan & memperhatikan apa kelak kata-kata lanjutannya)
Tukang tambal ban :
Ya... mending beli hp yang murah-murah aja yah. Habis gampang rusak layar lcdnya.
Izam :    
Iya pak, lcd hp memang sensitif.
Tukang tambal ban :
Saya pernah tuh ditawarin hp di kereta, ya menurut saya sih hp curian. Katanya begini, “Bos ni hp bagus bayarin deh 200ribu aja”. Saya tawar tuh, “50ribu gue ambil”. Eehh... dia mau. Saya periksa di rumah, hpnya bener-bener bagus sih. Cuma saya ngga’ habis pikir, kok hp bagus begini dijual murah amat, “jangan-jangan hasil curian nih” pikir saya. Setelah kejadian itu, saya udah ngga’ mau peduli pada tawaran hp bagus dengan harga amat murah, pikir saya sederhana yaa...paling abis dari mencuri....
“Hidup sekali aja sampe sebegitunya ya....”
Izam :    
Iya ya pak. (mencoba menjadi pendengar yang baik)
Tukang tambal ban :
Iya, hidup cuma sekali aja sampe sebegitunya... Menurut saya, ya apa adanya aja, semampunya, ngga’ usah macam-macam, ngga’ usah ngiri sama yang kaya. Wong semua orang itu kan susah....
Izam:     
???? (menunjukkan mimik bingung/ heran)
Tukang tambal ban :
Ya, semua orang itu pada hakikatnya kan susah. Sekaya apapun seseorang kenapa masih bekerja coba??? Kalo ngga’ ngerasa susah dan sudah cukup kaya ngapain masih kerja??? Yang kaya dan yang miskin, sama-sama kerja berarti kan sama-sama jadi “kuli.” Kuli = susah, jadi sama-sama susah kan??
Izam :    
Bener juga ya Pak !, masing-masing punya tingkat kesusahannya sendiri.
Tukang tambal ban :
Ya, pokoknya hidup jangan ditambah makin susah. Syukuri dan nikmati aja apa yang ada....
Izam :    
- (kembali terdiam dan cukup takjub)

Izam malam itu benar-benar melihat sosok sederhana dengan kata-kata yang begitu ringan tanpa beban, ia berbicara secara spontan tanpa iringan teks  dan tanpa rekayasa ucapan. Satu kalimat yang tak terlupakan, “semua orang pada hakikatnya adalah SUSAH terlepas apakah ia kaya atau miskin.” Pesan itu Izam tangkap dan ia terjemahkan bahwa tidak semestinya kita begitu resah dan iri kepada orang lain, khususnya bagi mereka yang terlihat begitu berlebih dalam tumpukan materi. Allah swt menciptakan keadilan pada setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Seseorang yang terlihat miskin secara materi belum tentu mengalami SUSAH dan sebaliknya, seseorang yang terlihat kaya secara materi tidak berarti terbebas dari perkara SUSAH. KeSUSAHan adalah variabel/instrumen pelengkap hidup yang Allah sediakan kepada setiap orang. Yang membedakan dari mereka adalah masing-masing dari setiap orang tadi telah memiliki ruang keSUSAHannya sendiri-sendiri. Jika Allah menciptakan segala sesuatu dengan penuh keseimbangan, maka keSUSAHan adalah niscaya dan keMUDAHan adalah penyeimbangnya.
Tak cukup di situ Izam dibuat takjub, sosok tukang tambal ban tadi sebenarnya bukanlah orang biasa, bukan orang ‘pinggiran’. Meskipun tidak tinggi dalam menempuh jalur studi, tapi paling tidak ia cukup mengenyam bangku pendidikan. Ia juga ternyata memiliki profesi tetap yang cukup menggiurkan atau mempunyai prestise. Melakukan pekerjaan tambal ban baginya adalah mengisi waktu luang saat ia libur dari ke’dinas’an. Dan, yang terpenting dari itu semua adalah tindakannya yang ia lakukan itu ternyata memiliki dua alasan atau latar belakang. Pertama, ia lakukan dalam rangka sekaligus bersilaturrahim ke ibunya di Jakarta sebab profesi aslinya bertempat di daerah jawa barat. Kedua, ia lakukan dalam rangka sekaligus membantu adiknya yang ternyata adalah pemilik usaha tambal ban itu. “Saat saya ke sini (Jakarta), maka saat itu pula adik saya bisa tertidur pulas karena ada saya yang menggantikannya sementara”, ucap Bang Agus - tukang tambal ban badal (pengganti) yang pada akhirnya Izam tahu namanya. Sosoknya kebapakan, terlihat berwibawa namun dengan gaya bicaranya yang begitu supel maka Izam lebih nyaman menyapa dengan sapaan “Bang Agus.”

Luar biasa !!!!, Subhanallah walhamdulillah..... malam itu terlewati begitu berkesan. Ada pelajaran syukur di sana, ada pelajaran arhabuhum shadran (kelapang dadaan), ada pelajaran ausa’uhum nazharan (keluasan cara pandang), ada pelajaran aktsaruhum naf’an (kebermanfaatan sesama orang), dan ada pelajaran bagaimana belajar kerelaan yang maqamnya lebih tinggi di atas kesabaran.



#Red Bridge, Rabbi’ul Awwal 1433 H#

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

Tidak ada komentar: