Sabtu, 25 Februari 2012

BINGKISAN TERAKHIR TUK BUNDA*




“Bunda-bunda!” Serak suaraku memanggil Bunda. Aku melangkah ke kamar bunda dan mencoba membuka pintu kamarnya. Tetapi belum aku membuka lebar, aku melihat bunda-bundaku menangis. Butiran air matanya jatuh saling berlomba. Tangisannya penuh beban dan harapan.

Aku tertegun di balik pintu menatap bunda yang seolah ingin menghabiskan air matanya. Namun, aku tersadar dari tatapanku, ketika bunda mengetahui aku ada di balik pintu. “Syila, sudah pulang nak?” Suara bunda yang masih terisak.

                “Eh-iya bunda. Aku . . . aku ke kamar dulu ya.” Jawabku kepada bunda, dan segera aku menapaki tangga dengan penuh harap ketika aku turun bundaku sudah menampakkan wajah hangatnya dan mencoba untuk menghapus air matanya.

                Sesampainya di kamar, aku termangu duduk di dekat jendela. Hatiku bertanya-tanya kenapa bunda menangis, padahal sewaktu aku berangkat kuliah bunda masih seperti biasa dan . . . . . . . . . . . . . . . Oh tidak!, tiba-tiba aku berpikir akan satu hal, hasil tes penyakit bunda yang ia periksakan seminggu lalu. Apakah hal itu yang membuat bunda menangis atau ada suatu hal lain yang membuat bunda sampai menangis begitu.

                Ketika aku keluar kamar dan menuju meja makan, aku melihat bunda sedang menyiapkan makanan.
                “Menu hari ini apa bunda?” Tanyaku pada bunda.
                “Oh-eh-ini bunda buatkan masakan kesukaan Syila.”
                Setelah itu kami mulai menyantap hidangan yang telah bunda siapkan. Ya, kami hanya berdua. Maklum saja ayahku sudah meninggalkan kami setahun lalu karena kecelakaan.

                Kemudian beberapa menit aku terdiam, aku mulai berpikir suatu hal yang akan aku tanyakan bunda. Suatu hal yang membuatku penasaran.

                “Ehm-Bunda gimana hasil pemeriksaan minggu lalu, sudah keluarkan bunda?” Tanyaku dengan nada lembut.

                Tapi tiba-tiba saja Bunda berhenti menyantap makanannya. Air matanya kembali membasahi pipinya, aku tidak tahu apa pertanyaanku ini salah. Lalu, Bunda menjawab dengan air matanya.

                “Syila maafkan Bunda nak, mungkin ini hari terakhir kita makan bersama.”

                “Memangnya kenapa Bunda?” Jawaban Bunda membuat pikiranku berpikir apa yang sebenarnya ingin bunda katakan. Tiba-tiba saja suasana di meja makan menjadi tak bernyawa. Kami berdua terdiam. Dan-besok bunda akan menjalani perawatan menjelang operasi lusa.”

                Suasana makin gelap, aku . .  aku hanya terpaku dan butiran air mataku mulai keluar dan berjatuhan. Bunda-bundaku akan pergi meninggalkanku. Aku akan sendiri tanpa ditemani ayah dan bunda.

                “Tapi itu masih stadium awal kan bunda dan bunda akan sembuh kan?”

                “Maaf Syila, Bunda sudah terlambat mengetahui penyakit ini dan …”
                “Cukup! Aku tidak mau lagi mendengarkannya Bunda.” Hentakku dengan penuh tidak percaya.

                Dan ketika itu Bunda menghampiri serta memelukku. Ia berbisik padaku, ia mengingatkan bahwa Allah akan menjagaku. Dan Ia (Allah) akan selalu memberiku petunjuk.


RUANG OPERASI, dua hari kemudian ...
                Jantungku berdetak dengan cepat, dan aku hanya berdiri di depan ruang operasi dengan penuh cemas.

                Hari ini Bunda dioperasi dan ini akan menjadi hari yang berat baginya. Aku menunggu dan hanya berdoa semoga operasi yang dijalankan Bunda berhasil serta berharap Allah memberikannya kekuatan.

                “Syila,” Suara dokter memanggilku ketika keluar ruang operasi.
                “Oh-iya dokter bagaimana keadaan bunda sekarang dokter?” Aku bertanya dengan penuh cemas.

                “Maaf Syila, mungkin ia kan bertahan sampai beberapa jam ini saja.”

                “Astaghfirullahalazim!!!, bunda-bolehkah saya temani bunda dokter?”

                “Tentu, tentu saja, temanilah ia di hari terakhirnya.”

                Aku berjalan menuju ruangan di mana Bunda masih terkapar. Ia sedikit sadar dan aku tak kuasa melihatnya meneteskan air mata yang indah itu. Aku menguatkan diri mendekatinya dan menggenggam tangannya. Aku … aku tak bisa menahan air mataku jatuh. Dan tiba-tiba Bunda mengatakan sesuatu padaku.

                “Syila, hanya sampai hari ini nak Bunda bisa menjagamu, maafkan bunda kalau kamu harus hidup sendiri. Jaga dirimu baik-baik dan senantiasa berdoa kepada Allah.”

                Aku tak kuasa mendengar pesan terakhir bunda ini dan ia melanjutkan kembali pesan terakhirnya.

                                “Bunda senang melihatmu tegar nak, jangan jadikan hal ini sebagai kekecewaanmu kepada Allah nak!” Sebelum Bunda melanjutkan kembali pesan terakhirnya itu aku mulai berbicara.

                “Bunda-bunda, Syila sayang Bunda. Bunda, Syila akan berjilbab menutup aurat mulai saat ini seperti Bunda. Bukankah ini yang Bunda inginkan selama ini Bunda?, Maafkan Syila Bunda. Syila sayang Bunda ...” aku menangis tak kuasa.

                Lalu Bunda tersenyum dan detik berikutnya ia mengucapkan lafadz keEsaan Allah. Dan menghembuskan nafas terakhirnya.

                INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN ....

                Bunda telah tiada. Aku hanya terpekur dan memeluknya erat sambil sesegukan untuk terakhir kalinya

                Bunda semoga kau bahagia di sisi Allah. Karena aku tahu Dia mencintai hamba-Nya.




*oleh : Lia Fauzia
Tulisan ini saya temukan pada buku panduan/bundel pesantren kilat SMA, SWARA (Studi WisatA Ramadhan). Semoga diperkenankan oleh penulis aslinya....

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

Tidak ada komentar: